Malam 17 Ramadhan
Setelah pandemi menyerang negara tercinta, himbauan-himbauan mulai bermunculan mulai dari memakai masker, cuci tangan, sampai jaga jarak terhadap manusia disekitar kita. Kita makhluk sosial, di kultur timur orang-orang sangat suka sekali berkumpul berbicara ngalor ngidul di bangku-bangku warung atau di pos-pos ronda membicarakan apasaja dari yang baik hingga yang tidak masuk logika pun sering kita bicarakan. Tapi sekarang hibauan untuk tidak berkumpul diserukan dimana-mana, kita dipaksa menjadi asosial, dipaksa menjadi individual, bahkan himbauan untuk beribadah dirumah lantang dibicarakan. Pro dan kontra pasti terjadi. Dan yang paling disayangkan dan sangat menyedihkan kebiasaan-kebiasaan di bulan ramadhan yang biasanya kita sambut dengan suka cita, beramai-ramai menuju mesjid dan musholah seperti ada yang kurang. Saya merasakan kesepian. Hiruk pikuk ramadhan berkurang semenjak pandemi menyerang. Saya yakin bukan cuma saya yang merasakannya, kalian pun pasti begitu.
Ditempat saya sendiri kegiatan tarawih hanya berjalan tiga kali. Setelahnya ditiadakan. Walaupun saya bukan orang yang agamis tetapi melihat keadaan seperti sekarang rasanya seperti ada yang kurang. Disetiap ramadhan yang lalu tempat-tempat ibadah ramai, lantunan ayat-ayat al-quran saling sahut dari musholah ke musholah. kita hanya mematuhi himbauan dari pemerintah sebagai manusia yang taat akan peraturan.
Saya sempat mengajukan saran agar mengadakan khataman al quran tetapi tetap mentah. Dengan alasan tidak boleh ada keramaian. Padahal tinggal bagaimana kita merubah konsep keramaian itu sendiri. Doa kita bersama adalah semoga pandemi ini segera berlalu dan kita bisa kembali menjadi manusia komunal seperti dahulu. Sendiri kita patah, bersama kita bisa menyapu yang kotor dan menjadi kuat.
Bangkit.
Komentar
Posting Komentar